Eden: Kisah Utopia yang Gagal dan Performa Eksentrik Ana de Armas
2 min read
Ron Howard, sutradara di balik mahakarya Apollo 13 yang terkenal dengan seruan optimistis “kegagalan bukanlah pilihan”, kini kembali dengan visi yang jauh lebih kelam dalam film terbarunya, Eden. Jika dalam Apollo 13 kita melihat kisah para pahlawan, maka Eden justru menyajikan cerita tentang para pecundang dan oportunis, di mana sang pionir, Dr. Friedrich Ritter (Jude Law), dengan pesimis menyatakan bahwa “kegagalan tidak bisa dihindari”.
Awal Mula Mimpi Utopia di Floreana
Berlatar tahun 1929, film ini mengisahkan Dr. Friedrich Ritter, seorang dokter dan filsuf Jerman yang, dipersenjatai dengan interpretasi serampangan atas pemikiran Nietzsche, melarikan diri dari Jerman pasca-Perang Dunia I. Bersama rekannya yang menderita sklerosis multipel, Dora (Vanessa Kirby), ia berambisi membangun surga utopia di Pulau Floreana, sebuah daratan vulkanik terpencil di Kepulauan Galápagos.
Ritter kemudian menuliskan kisah-kisah tentang gaya hidupnya yang idealis dan mengirimkannya ke surat kabar di Jerman. Tulisan-tulisannya yang romantis ini ternyata menarik perhatian publik, salah satunya adalah Heinz Wittmer (Daniel Brühl), seorang veteran perang yang memimpikan kehidupan baru. Terbuai oleh citra publik Ritter, Heinz mengajak istrinya yang pendiam, Margret (Sydney Sweeney), dan putranya yang sakit-sakitan untuk menyusul ke Floreana.
Kenyataan Pahit yang Terungkap
Setibanya di pulau tersebut, keluarga Wittmer mendapati bahwa kenyataan di lapangan jauh berbeda dari apa yang mereka baca di surat kabar. Surga yang dijanjikan ternyata adalah tanah yang tandus di mana sumber air bisa mengering dan hasil panen yang sedikit sering kali habis dimakan babi hutan. Penyakit sklerosis multipel yang diderita Dora ternyata tidak sembuh hanya dengan kekuatan pikiran, dan manifesto agung Dr. Ritter yang diyakini akan menyelesaikan semua masalah kemanusiaan ternyata sulit untuk dituangkan ke atas kertas. Gagasan mulia tentang utopia dengan cepat runtuh di hadapan kerasnya realita bertahan hidup.
Kekacauan Memuncak dengan Kedatangan Sang Baroness
Situasi di pulau yang sudah tegang semakin memanas dengan kedatangan sosok baru yang eksentrik: seorang wanita yang memproklamirkan dirinya sebagai “Baroness” (diperankan oleh Ana de Armas). Tampil dengan gaya glamor dan angkuh, ditemani oleh beberapa pria simpanannya, sang Baroness membawa aura oportunisme yang sangat kontras dengan idealisme para penghuni awal. Kehadirannya menjadi katalisator bagi berbagai intrik erotis, konflik terbuka, dan pada akhirnya, tindakan-tindakan kekerasan yang mengerikan seiring ketegangan yang terus memuncak di antara para penghuni pulau.
Pujian Kritis untuk Penampilan Para Aktor
Cukup mengejutkan bahwa film dengan tema yang begitu gelap dan rumit ini disutradarai oleh Ron Howard, yang lebih dikenal dengan karya-karya inspiratifnya. Namun, para aktornya terbukti mampu menjawab tantangan tersebut dengan gemilang. Jude Law tampil meyakinkan sebagai seorang filsuf angkuh dengan gigi palsu, sementara Sydney Sweeney memberikan penampilan yang kuat sebagai seorang ibu yang berjuang dalam kondisi ekstrem.
Namun, penampilan Ana de Armas-lah yang benar-benar mencuri perhatian. Dengan aksen Jerman yang sengaja dibuat berlebihan, ia berhasil menangkap esensi keserakahan dan sifat manipulatif karakternya, sekaligus menikmati sisi absurd dari tokoh tersebut. Penampilannya yang eksentrik dan penuh energi inilah yang membuat film Eden menjadi sebuah tontonan yang layak disaksikan, bahkan jika hanya untuk melihat performa uniknya.