13 November 2025

Dari Keajaiban Dunia Kuno hingga Perjalanan Kustom AI: Evolusi Cara Manusia Menjelajahi Dunia

4 min read

Dunia pariwisata senantiasa berevolusi. Di satu sisi, daya tarik destinasi ikonik yang tak lekang oleh waktu tetap menjadi magnet utama. Di sisi lain, teknologi secara radikal mengubah cara kita merencanakan, memesan, dan bahkan mengalami perjalanan itu sendiri. Perpaduan antara warisan sejarah yang agung dan kecerdasan buatan (AI) yang prediktif kini membentuk masa depan industri perjalanan.

Destinasi Abadi: Tujuh Keajaiban Dunia Baru

Daftar “Tujuh Keajaiban Dunia” yang kita kenal saat ini bukanlah warisan kuno. Daftar ini lahir dari sebuah kampanye global yang diinisiasi oleh sebuah yayasan asal Swiss pada tahun 2000. Tujuannya adalah untuk memperbarui daftar keajaiban dunia kuno yang disusun pada abad ke-2 SM, di mana saat ini hanya Piramida Giza yang masih berdiri kokoh.

Proses pemilihan ini melibatkan lebih dari 100 juta suara dari seluruh penjuru dunia. Hasil akhirnya kemudian diumumkan secara resmi pada tahun 2007. Berikut adalah tujuh situs yang terpilih sebagai representasi kehebatan arsitektur dan warisan budaya manusia:

  • Tembok Besar (Cina)

  • Patung Christ the Redeemer (Brasil)

  • Machu Picchu (Peru)

  • Taj Mahal (India)

  • Petra (Yordania)

  • Colosseum (Italia)

  • Chichen Itza (Meksiko)

Sekilas Tentang Ikon-Ikon Global

Setiap situs ini memiliki cerita unik. Tembok Besar China, misalnya, adalah salah satu struktur bangunan terbesar di dunia. Perkiraan resminya membentang sekitar 8.850 km, meskipun sebuah studi lain yang masih diperdebatkan mengklaim panjangnya mencapai 21.200 km. Dibangun selama 2.000 tahun sejak abad ke-7 SM, tujuannya adalah mencegah invasi, walau sejumlah pengamat mencatatnya lebih sebagai alat propaganda politik.

Di Meksiko, Chichén Itzá di semenanjung Yucatán menonjol sebagai kota peradaban Maya yang berkembang pesat pada abad ke-9 dan ke-10 M. Monumennya yang paling terkenal, piramida El Castillo, adalah bukti kemampuan astronomi Suku Maya; strukturnya memiliki total 365 anak tangga, melambangkan jumlah hari dalam satu tahun matahari.

Di Yordania, kota kuno Petra yang terletak di lembah terpencil di antara tebing batu pasir, pernah menampung 30.000 jiwa. Situs ini dipercaya sebagai lokasi di mana Musa memukul batu hingga air menyembur keluar. Namun, serangkaian gempa bumi besar pada tahun 363 dan 551 Masehi membuatnya perlahan ditinggalkan.

Situs Machu Picchu di Peru, ditemukan oleh Hiram Bingham pada tahun 1911. Awalnya ia mengira itu adalah Vilcabamba, benteng rahasia Suku Inca. Meski klaim itu dibantah, Machu Picchu tetap memukau sebagai salah satu dari sedikit reruntuhan besar pra-Columbus yang ditemukan dalam keadaan nyaris utuh.

Patung Christ the Redeemer di Rio de Janeiro, Brasil, berdiri setinggi 30 meter di atas Gunung Corcovado. Pembangunannya diusulkan setelah Perang Dunia I oleh sebagian warga Brasil yang khawatir akan “gelombang ketidakbertuhanan”. Konstruksinya, yang dirancang oleh Heitor da Silva Costa, Carlos Oswald, dan Paul Landowski, selesai dalam lima tahun (1926-1931).

Di Italia, Colosseum Roma yang dibangun pada abad pertama atas perintah Kaisar Vespasianus, mampu menampung 50.000 penonton. Amfiteater ini terkenal karena pertarungan gladiator yang brutal. Beberapa perkiraan menyebut sekitar 500.000 orang tewas di dalam arena ini.

Terakhir, Taj Mahal di Agra, India, adalah sebuah kompleks mausoleum megah yang dianggap sebagai contoh terbaik arsitektur Mughal. Monumen ikonik ini dibangun oleh Kaisar Shah Jahān untuk menghormati mendiang istrinya, Mumtāz Maḥal, yang wafat saat melahirkan anak ke-14 mereka.

Perbatasan Baru: AI Menata Ulang Industri Perjalanan

Mengunjungi destinasi impian seperti Taj Mahal atau Machu Picchu kini memasuki era baru. Jika beberapa dekade terakhir fokus pada digitalisasi pemesanan, industri perjalanan kini beralih ke “digitalisasi imajinasi”. Pergeseran ini didukung penuh oleh kecerdasan buatan, khususnya AI agentik (agentic AI)—sistem yang tidak hanya menjawab pertanyaan, tetapi mengambil tindakan atas nama pengguna.

Karen Bolda, Chief Product and Technology Officer untuk B2B di Expedia Group, menekankan bahwa evolusi ini bergerak dari sekadar efisiensi menuju antisipasi kebutuhan pengguna. “AI dapat melakukan lebih banyak hal di luar sekadar memperbaiki inefisiensi,” ujarnya.

Dari Efisiensi Menuju Imajinasi Kontekstual

Aplikasi AI tahap awal di industri perjalanan berfokus pada otomatisasi, seperti mengalihkan panggilan di call center atau mempercepat proses rebooking. Fase transformasi berikutnya adalah tentang kecerdasan emosional dan pemahaman konteks.

Seperti yang dijelaskan Bolda, “Anda tidak bermimpi tentang melakukan pemesanan. Anda bermimpi tentang momen.”

Expedia Smart Trip AI, yang diumumkan pada tahun 2024, mewujudkan ide ini. Teknologi tersebut menggabungkan data pihak pertama dengan wawasan mitra untuk menghasilkan rencana perjalanan yang dipersonalisasi dan didorong oleh mood—misalnya, “akhir pekan yang dapat dijelajahi dengan berjalan kaki di dekat ladang lavender.”

Ini bukan sekadar polesan pengalaman pengguna, melainkan fondasi untuk ekosistem agentik di mana AI mengantisipasi niat, menghubungkan konteks, dan bertindak. Expedia sudah mulai menanamkan konten dan layanannya di berbagai asisten mitra, mulai dari OpenAI Microapps hingga Microsoft Copilot Actions. Hasilnya, wisatawan dapat beralih dari permintaan obrolan sederhana (“tunjukkan opsi akhir pekan di Santa Fe”) menjadi rencana perjalanan penuh dan pemesanan tiket hanya dalam hitungan menit.

Kebangkitan Asisten Agentik di Tahun 2026

Sebuah laporan gabungan dari Skift Research dan McKinsey menunjukkan bahwa lebih dari separuh eksekutif di industri perjalanan sedang bereksperimen dengan AI agentik. Manfaatnya jelas: layanan lebih cepat, lebih sedikit gangguan, dan daya ungkit operasional baru di seluruh perjalanan pelanggan.

Menjelang tahun 2026, sistem agentik ini diprediksi akan mampu menangani segalanya, mulai dari memantau penerbangan dan cuaca hingga menyarankan pemesanan ulang tepat waktu—jauh sebelum wisatawan menyadari adanya masalah.

Iterasi Expedia yang akan datang, misalnya, akan menggunakan data pihak ketiga seperti cuaca dan acara lokal, yang digabungkan dengan 70 petabyte data perjalanan historis mereka, untuk menciptakan perjalanan yang proaktif dan dapat “memperbaiki diri sendiri”.

“Semakin banyak kita mulai menggabungkan semua yang kita ketahui tentang Anda sebagai seorang pelancong dan apa yang sedang terjadi di tempat tujuan Anda, saya pikir [layanan] ini akan menjadi lebih baik dan lebih baik lagi,” tambah Bolda.

Pada tahun 2026, para pelancong dapat mengandalkan hal ini. Era bantuan prediktif yang dipersonalisasi akan benar-benar tiba, mengubah cara kita bermimpi dan mewujudkan pengalaman di keajaiban-keajaiban dunia.